HUBAYA-HUBAYA!!! MOHON MAAF... UNTUK KALI INI, PERMINTAAN CD DAN DVD ISO LINUX TIDAK BISA DIPENUHI UNTUK SEMENTARA WAKTU... SEKIRANYA ADA KEMUNGKINAN UNTUK MEMENUHI PERMINTAAN, AKAN DIUMUMKAN LEBIH LANJUT... TERIMA KASIH DAN MOHON MAAF UNTUK YANG TELAH MEMESAN ISO LINUX... HARAP MAKLUM... TABIK...

Kenapa Aku Keberatan Dipanggil "Kakak"?

Ada perasaan tak enak dalam hatiku kalau orang-orang yang lebih muda dariku memanggilku "kakak". Aku lebih senang dipanggil "abang". Lebih senang lagi kalau dipanggil "mas" atau "kangmas", karena sesuai tradisi Jawa (walau aku bukan Jawa), apabila orang yang lebih tua memanggil kita dengan sebutan "kangmas", artinya orang tersebut respect terhadap kita. Tapi aku tetap keberatan kalau dipanggil "kakak". Ada dua alasan :


  1. Dalam perbendaharaan kata bahasa Melayu asli, kata "kakak" hanya digunakan untuk memanggil perempuan yang lebih tua dari kita, tetapi masih sepantaran. Tentu saja karena aku lelaki, aku keberatan dipanggil "kakak". Kata bahasa Melayu yang benar untuk memanggilku adalah "abang". Entah mengapa dalam bahasa Indonesia, entah laki-laki entah perempuan dua-duanya disebut "kakak", dengan membedakan antara "kakak laki-laki" dan "kakak perempuan". Padahal jelas salah. Aku sedang mencari penjelasannya lebih lanjut. Sedangkan di Malaysia, kata "abang" dibakukan.

  2. Sebagai orang yang terlahir dari keluarga Batak Toba, sudah tradisi adik-adikku memanggilku "abang". Kata "abang" dan "kakak" memang semakin sering dipakai di dalam masyarakat Batak, walaupun bahasa Batak juga memiliki kata yang tepat, yaitu "angkang" (baca : akkang) untuk abang/kakak sejenis kelamin, dan "iboto" untuk abang/kakak ataupun adik yang berbeda jenis kelamin. Untuk adik sejenis kelamin, pakailah kata "anggi".


Demikianlah kenapa aku keberatan dipanggil "kakak". Waktu aku SMA, kalau adik kelas memanggilku "kakak", aku langsung bilang "Tolong ya, jangan panggil aku 'kakak', aku kurang enak hati,". Tapi kalau dipanggil "abang", "aa" (di Jawa Barat), "kangmas", atau "koko" (di kalangan orang Tionghoa), aku tak keberatan, karena padanannya pas. Begitu juga untuk siapapun yang menyapaku, mohon dengan sangat, jangan panggil aku "kakak".

Kasus KPK, Siapa Yang Bersalah?

Akhir-akhir ini kasus KPK tengah menjadi bahan percakapan menarik di antara masyarakat. Kasus ini dimulai dari ditahannya Ketua KPK Antasari Azhar karena diduga ia telah menjadi dalang pembunuhan Nasruddin Zulkarnain, seorang pengusaha yang mati ditembak di dalam mobilnya setelah bermain golf. Nah, dalam masa penahanannya itu Antasari membuat sebuah testimoni yang menyatakan bahwa petinggi KPK telah menerima suap dalam penanganan salah satu kasus dugaan korupsi.
Sejak itulah polisi mengadakan penyidikan lebih lanjut di dalam KPK, dan tak lama kemudian menahan dua orang petinggi KPK iaitu Bibit Samad Riyanto (disingkat BSR) dan Chandra Hamzah (CH). Dengan ditahannya dua petinggi KPK itu, maka otomatis kepemimpinan KPK kosong. Kosong melompong! Dan sudah pasti koruptor menari-nari. Baru setelah itu diangkatlah pelaksana sementara ketua KPK, Tumpak Hatorangan Panggabean.
Apakah masalah selesai? Belum. Tak lama kemudian beredarlah transkrip pembicaraan yang mengindikasikan adanya rekayasa dalam kriminalisasi BSR dan CH. Yang makin membuat resah, nama Presiden Susilo Bambang Yudhoyono disebut-sebut dalam rekaman itu. Presiden pun berbicara, tetapi dianggap tidak menyelesaikan masalah. Sedangkan masyarakat menginginkan kasus ini diusut secara tuntas agar kerja KPK dalam mengusut kasus korupsi tidak berhenti di tengah jalan.

Masalah semakin pelik ketika polisi tetap bertekad untuk menahan petinggi KPK. Masyarakat pun menyalahkan polisi dan berniat melawan polisi. Sebagian orang mengumpamakan konflik antara KPK dengan polisi sebagai perang antara "cicak" lawan "buaya". Saat presiden bertindak, presiden diumpamakan sebagai "biawak". Ada-ada saja. Lihatlah gambar pada postingan di atas.
Polisi pun berbicara ketika keadaannya makin tersudut. Kapolri Jenderal Bambang Hendarso mengungkapkan, semua yang kepolisian lakukan adalah bagi membesarkan KPK, dan tidak pernah ada konflik yang berarti antara polisi dengan KPK. Ditambahkannya, media dan masyarakat jangan menaruh stigma negatif kepada Polri, karena Polri tengah berbenah. Memang kita tahu bahwa Polri sudah lama dicap sebagai instansi paling korup di Indonesia.

Bagiku pribadi, pasti ada pihak yang memasang jebakan. Ia tak suka kerja KPK semakin baik, karena jika kerja KPK baik maka korupsi makin tak boleh bergerak bebas. Memang kita dilarang untuk berburuk sangka, tapi apa salahnya kita menaruh curiga, karena dengan curiga itulah kita bisa berwaspada.
Sebagian temanku menyalahkan Presiden dan menganggapnya dalang dari semua ini. Presiden tak boleh disalahkan di sini, tapi hendaknya beliau konsisten dan ikut mendukung pengusutan. Bukan justru mempersulit masalah. Jika kasus ini semakin lama semakin ditunda penyelesaiannya, bukan tidak mungkin akan ada kekuatan rakyat yang menuntut Presiden mundur.
Jadi siapa yang salah? Hanya Tuhan yang tahu. Mari kita semua memohon petunjuk kepadaNya. Hanya kepadaNya saja kita berlindung...