Tulisan ini bukannya mau membahas tentang Sri Mulyani Indrawati, sang mantan Menteri Keuangan yang kini menjabat sebagai Direktur Pelaksana Bank Dunia. Bukan juga mau membahas tentang sebuah tembang campursari khas Jawa yang liriknya "Sri, kapan kowe bali...". Kali ini aku mau membahas tentang sebuah fenomena khas orang Melayu yang sering menggunakan sebuah kata untuk maksud "penghormatan" atau "pengagungan". Kata itu adalah sri (biasa juga ditulis dengan seri).

Menurut Wikipedia, SRI (atau juga biasa ditulis dengan seri, shri, sree, shree) adalah kata dalam bahasa Sansekerta yang secara harafiah bermakna "memancarkan cahaya". Belakangan kata ini berkembang menjadi sebuah gelar penghormatan kepada dewa-dewi (contoh : Sri Krisna, Sri Indra), para tokoh spiritual, dan juga orang-orang terhormat.
Kita tahu sama-sama bahwa sejak agama Hindu dan Buddha masuk ke Nusantara, banyak aspek-aspek kebudayaan India yang mulai masuk kemari, salah satunya adalah penggunaan kata "Sri" ini.
Di Nusantara, beberapa tempat menggunakan nama Sri. Misalnya Bandar Seri Begawan, ibukota Negara Brunei Darussalam. Di Malaysia ada Sri Aman (Sarawak), Sri Gading (Johor), Sri Petaling (Kuala Lumpur), Bandar Sri Damansara dan Seri Kembangan (Selangor). Istana Yamtuan Besar Negeri Sembilan terletak di Seri Menanti.
Di Indonesia mungkin tidak terlalu umum, tapi ada juga seperti Bandar Seri Bentan dan Seri Kuala Lobam di Pulau Bintan, dan juga beberapa pelabuhan seperti Sri Bintan Pura (Tanjung Pinang), Bandar Sri Udana (Tanjung Uban, Bintan), dan Bandar Sri Laksamana (Bengkalis).
Beberapa tempat yang sebenarnya tidak memakai "Sri" biasa diberi gelar "Sri", terutama dalam lagu-lagu Melayu, seperti Sri Mersing, Sri Langkat, Sri Kedah, dan sebagainya.
Di luar nama tempat, beberapa "benda" juga memakai gelar "Sri". Kereta api jurusan Yogyakarta-Banyuwangi memiliki nama Sri Tanjung, begitu juga dengan KRD ekonomi di Medan yang memiliki nama Sri Lelawangsa. Di Riau ada dua stasiun televisi lokal dengan nama "Sri", yaitu Sri Gemilang TV (Indragiri Hilir) dan Sri Junjungan TV (Bengkalis). Di Malaysia ada grup hotel bernama Seri Malaysia. Ada juga rumah makan di Palembang yang bernama Sri Melayu. Masih banyak lagi contoh-contoh lainnya.
"Sri" juga biasa digunakan sebagai gelar untuk raja atau pemimpin. Raja Sunda (Pajajaran) yang ke-35 bergelar Sri Baduga Maharaja. Raja Majapahit yang ke-4 bergelar Sri Rajasanagara, walaupun orang ramai lebih mengenal nama aslinya yaitu Hayam Wuruk. Pendiri kerajaan Sukhothai (Siam) bernama Sri Indraditya. Dua raja dari Kerajaan Khmer (Kamboja) juga memakai gelar "Sri", yaitu Sri Jayawarman dan Sri Indrawarman.
Di masa modern, Raja Malaysia bergelar Seri Paduka Baginda Yang Dipertuan Agong, demikian pula dengan permaisuri bergelar Seri Paduka Baginda Raja Permaisuri Agong. Raja Mataram-Islam yang berkedudukan di Yogyakarta bergelar Sri Sultan Hamengkubuwono, manakala yang berkedudukan di Surakarta bergelar Sri Susuhunan Pakubuwono. Tidak lupa pula, banyak umat Kristen Katolik di Indonesia memanggil pemimpin tertinggi di Vatikan dengan gelar Sri Paus.
Uniknya, di kalangan masyarakat Jawa nama "Sri" tidak semuanya identik dengan "penghormatan". Kata "Sri" akhirnya identik dengan nama perempuan. Contohnya ya mantan menteri keuangan kita itu, Sri Mulyani Indrawati. Kita juga pernah punya menteri pemberdayaan perempuan bernama Sri Rejeki Sumaryoto. Masih banyak lagi Sri-Sri yang lain, termasuk salah seorang tanteku.
Dewi padi bagi masyarakat Jawa adalah Dewi Sri.
Tidak hanya perempuan, laki-laki pun ada juga yang memiliki nama "Sri", contohnya Sri Bintang Pamungkas.

Tulisan ini bukan bermaksud apa-apa, cuma iseng saja. Tapi mudah-mudahan bisa bermanfaat, terutama bagi kamu yang memang ikut penasaran seperti aku tentang fenomena kata "Sri" ini.
Tabik.