Sejarah membuktikan, kebanyakan kebudayaan di dunia menempatkan perempuan sebagai kelas nomor dua, dibandingkan lelaki. Pada zaman kerajaan Romawi, kemolekan tubuh wanita biasa dipertontonkan dalam acara-acara khusus. Begitu juga di belahan dunia lain, wanita selalu menjadi korban pelampiasan emosi para lelaki. Termasuk juga Indonesia.
Wanita tak disekolahkan, karena tahu kalau ujung-ujungnya wanita hanya akan menjadi istri para lelaki, dan hanya bisa diam di rumah mengasuh anak. Di beberapa kebudayaan, terutama kebudayaan yang menganut paham paternalistik, orang lebih menyanjung anak laki-lakinya dibandingkan anak perempuannya, karena anak laki-laki menurunkan marga. Jangan lupa, dulu ada pekerjaan khusus laki-laki dan khusus perempuan, dan porsinya tentu saja lebih banyak pekerjaan untuk laki-laki.
Pada masa penjajahan Belanda, muncullah seorang srikandi Indonesia bernama RA Kartini. Ia merupakan pelopor penuntutan persamaan hak bagi wanita. Perjuangannya kemudian diteruskan oleh pejuang wanita lain, seperti Dewi Sartika, Maria Walanda Maramis, dan sebagainya. Buahnya dapat kita nikmati sekarang ini, perempuan juga bisa belajar setinggi-tingginya dan bekerja pada pekerjaan yang dulu dianggap tabu bagi perempuan. Dan jangan lupa, dari tahun ke tahun porsi perempuan di Dewan Perwakilan Rakyat semakin besar.
Dan apakah kesamarataan hak itu sudah sepenuhnya bisa dinikmati oleh wanita??? Nah, karena itulah judul tulisan ini adalah "Habis Gelap... Masih Gelap Kah Dah Terang???", karena kita masih saja melihat berita tentang kekerasan dalam rumah tangga, di mana wanita selalu jadi korban. Masih ada kasus di mana wanita tak mendapat haknya. Hak hidup, hak bersuara, dan hak-hak lainnya. Kursi wanita untuk DPR juga masih dibatasi.
Tapi apakah persamaan hak antara pria dan wanita harus 50:50??? Tentu saja tidak. Tuhan saja menciptakan pria dan wanita dengan perbedaan baik secara fisik dan psikis. Dalam olahraga pun, ada perbedaan porsi antara pria dan wanita karena fisik yang berbeda. Misalnya saja, tinggi net bola voli antara voli pria dan voli wanita. Begitu juga dengan posisi push-up, ada posisi khusus wanita, karena jika wanita menerapkan posisi push-up pria, ada kekhawatiran rahim bisa rusak. Karena itu aku turut prihatin dengan aksi protes di Amerika beberapa hari yang lalu, di mana para wanita juga ingin diperbolehkan telanjang dada di muka umum karena para pria boleh melakukannya. Bukan itu kesamarataan yang Kartini inginkan.
Semoga perjuangan Kartini tetap berlanjut sampai akhir masa. Sepatutnya wanita mendapat persamaan hak, tetapi bukan sepenuhnya sama. Sama, tetapi sesuai kodrat wanita itu sendiri.

Selamat Hari Kartini... Maju Terus Srikandi Indonesia...