Tak etis rasanya apabila kita membandingkan negara kita dengan Malaysia. Malaysia sudah melesat jauh dan menjadi negeri yang lebih maju dari kita (padahal kita yang membesarkan mereka), walaupun Malaysia beradat resam Melayu dan mayoritasnya adalah pemeluk Islam. Lebih baik membandingkan negara kita dengan negara yang satu ini: Republika ng Pilipinas, Republik Filipina.
Pernah aku melihat sebuah tayangan di Channel News Asia yang membahas tentang nasi, dan tayangan itu pun membahas peranan nasi di Filipina. Ternyata ada makanan-makanan mereka yang sama dengan makanan khas kita. Mereka punya puto bombong, yaitu sejenis kue putu tapi berwarna ungu karena dicampur talas, dan dioles mentega di atasnya (di Indonesia kue putu ditaburi kelapa). Ada juga yuklut, yang ternyata mirip dengan lemang, makanan khas Melayu yang biasa dimasak pada waktu Hari Raya. Dan Filipina pun punya nasi kuning, dengan nama yang berbeda, tapi aku lupa namanya. Sebelumnya aku berfikir nasi kuning hanya ada di Jawa Barat, tanah Sunda, tapi ternyata di Filipina pun ada.
Boleh dikatakan, Filipina mirip dengan Indonesia. Bahasa nasional mereka, Tagalog, adalah rumpun bahasa Austronesia (serumpun dengan bahasa Melayu). Filipina pun punya bahasa-bahasa daerah lain yang juga termasuk rumpun Austronesia. Filipina juga merupakan sebuah negara kepulauan, sama dengan Indonesia. Di sebuah serial Filipina yang ditayangkan di TV7 (sebelum namanya berubah menjadi Trans 7), aku lihat perkampungan nelayan di sana hampir sama dengan di sini. Rumahnya berbentuk rumah panggung, berdinding rotan, dan berpagar bambu. Kulit mereka pun sama, sawo matang, dan dengan jujur mereka mengaku kalau mereka juga bagian dari rumpun bangsa Melayu.
Ibukota Filipina, Manila, yang terdiri dari dari 17 kotamadya (seperti Jakarta yang terdiri dari 5 kotamadya), keadannya tak jauh beda. Walaupun Manila sudah punya MRT dan LRT (Jakarta belum punya), jalanan tetap padat dan sesak. Polusi udara terasa, dan sampah pun bertebaran di mana-mana. Mereka juga punya sebuah angkutan umum yang khas bernama Jeepney. Jeepney ini boleh ditumpangi oleh 7-8 orang, dan jika ingin turun harus mengetuk atapnya sehingga supir akan berhenti. Sama seperti mikrolet di Jakarta.
Keadaan geografis Filipina tak jauh beda dengan Indonesia. Filipina memiliki banyak sawah dan ladang, sehingga tanahnya subur. Garis pantainya panjang, hasil ikannya melimpah. Pantai-pantainya pun tak kalah indahnya dengan pantai di Indonesia. Filipina juga sama seperti Indonesia, rawan bencana alam seperti gempa, letusan gunung, dan badai El Nino. Rakyat Filipina pun masih banyak yang hidup di bawah garis kemiskinan. Angka pengangguran di sana cukup tinggi. Perkampungan kumuh pun terdapat di mana-mana.
Filipina juga memiliki sejarah yang hampir sama dengan kita, yaitu pernah dipimpin oleh presiden yang otoriter. Dia adalah Ferdinand Marcos. Kebijakannya suka-suka sendiri dan tidak ada yang bisa melawannya. Memamg pertumbuhan ekonomi Filipina membaik tetapi rakyat merasa tersiksa. Akhirnya rakyat meluncurkan gerakan People Power (bahasa Tagalog: Lakas ng Bayan untuk menumbangkan sang presiden. Marcos pun lari ke Hawaii dan tinggal di sana sampai akhir hayat. Situasi yang sama berlaku ketika kita dipimpin oleh Soeharto. Bedanya, keluarga Marcos dikucilkan sampai saat ini, tapi keluarga Soeharto berhasil menjalankan bisnisnya, walaupun keluarganya runtuh karena hampir semua putera-puterinya bercerai dengan suami atau isterinya.
Yang membedakan kita dan mereka adalah agama. Mayoritas warga Filipina beragama Kristen Katolik, walaupun sebagian kecil di Pulau Mindanao beragama Islam, sedangkan mayoritas warga Indonesia adalah Muslim. Filipina juga berbeda nasib. Mereka ditaklukkan Spanyol dan dijajah selama tiga ratusan tahun, kemudian diduduki lagi oleh Amerika Serikat. Indonesia dijajah Belanda, lalu dijajah lagi oleh Jepang. Adapun dulunya di Filipina telah berdiri kesultanan-kesultanan Islam dan mayoritas warganya memeluk Islam, tetapi kemudian ditaklukkan Spanyol dan Spanyol berhasil menyebarkan ajaran Kristen kepada warga, sedangkan di Indonesia usaha Belanda untuk mengajak warga Indonesia untuk memeluk Kristen gagal.
Suatu saat nanti, aku ingin ke Filipina, sebuah negara yang eksotis dan memiliki daya tarik tinggi. Sayang impianku belum bisa terwujud, tapi akan tiba masanya. Walau bagaimanapun, aku tetap bangga dengan negaraku, Indonesia...