Sebelum berangkat ke Shenzhen, kami menyempatkan diri berkunjung ke Ngong Ping 360, sebuah wahana kereta gantung di Pulau Lantau. Ternyata antriannya cukup ramai, dan sekitar 30 menit baru kami bisa naik kereta gantung. Jalur kereta gantungnya adalah salah satu yang terpanjang di dunia. Dari dalam kereta gantung, kami juga bisa melihat Bandar Udara Internasional Hong Kong.
Tiba di Ngong Ping, ada patung Buddha yang besar dan perkampungan yang indah.

Jalur kereta gantung Ngong Ping 360

Bandar Udara Hong Kong, terlihat dari kereta gantung

Patung Buddha Tian Tan dan gerbang jalan menuju ke sana

Siangnya kami langsung pulang ke hotel untuk persiapan menuju Shenzhen. Perjalanan menuju Shenzhen sekitar 1 jam, dan tiba di sana harus mengurus keimigrasian terlebih dahulu, sebelum melanjutkan perjalanan menuju kota Shenzhen.
Shenzhen adalah sebuah Zona Ekonomi Khusus yang didirikan oleh pemerintah Republik Rakyat China. Kota ini pada awalnya hanyalah desa yang sunyi, sampai pada tahun 1970 ketika presiden Deng Xiaoping mengubah Shenzhen menjadi sebuah pusat perdagangan. Penduduk awalnya hanya 20.000 jiwa, sekarang menjadi 10 juta jiwa. Luas awalnya hanya 50 km2, sekarang telah bertambah menjadi 2.050 km2. Benar-benar berubah.
Dari Shenzhen, kita bisa melihat gambaran China. Cukup berbeda dengan Hong Kong. Penduduknya tidak begitu ramah dan kebanyakan tidak bisa berbahasa Inggris. Kebersihan juga menjadi masalah utama di sini. Walaupun demikian, daerah di sini masih hijau. Transportasi juga cukup memadai, ada taksi, bis kota, dan kereta bawah tanah.

Pusat imigrasi Shenzhen Bay

Pemandangan kota Shenzhen

Malamnya kami belanja di Luohu. Di sana bisa mendapatkan berbagai barang dengan harga miring. Beda harganya antara bumi dan langit dengan harga di Hong Kong. Tak heran kalau warga Hong Kong senang belanja di sini, karena aksesnya juga mudah. Mobil Hong Kong bisa masuk China, tapi mobil China tak bisa masuk Hong Kong, entah kenapa.
Di Luohu, handphone Nokia N95 bisa didapat dengan harga RMB900 (sekitar 1 juta rupiah). Padahal harga aslinya lebih tinggi dari itu. Sepatu juga harganya di bawah RMB100 (di bawah seratus ribu rupiah). Tentu saja itu bukan barang-barang asli. Ada yang kata "aspal" (asli tapi palsu).
Esoknya kami melakukan perjalanan berkeliling Shenzhen. Pertama, kami ke tempat penjualan batu giok milik pemerintah Republik Rakyat China. Harga batu giok juga bisa ditawar. Liontin seharga RMB1600 bisa dibeli dengan harga RMB300. Patung seharga RMB8000 bisa ditawar harganya jadi RMB1000. Gila.
Dari sana, kami ke tempat penjualan obat dengan bahan-bahan tradisional. Di sana juga bisa periksa kesehatan. Ketika dokter memeriksa tanganku, dokter bilang liver aku terlalu banyak racun dan harus dibuang. Kenapa mukaku banyak jerawat, karena itu adalah tempat pembuangan racun. Dokter bilang, aku terlalu banyak makan goreng-gorengan. Yah, apa boleh buat, itulah makanan yang murah selama aku tinggal merantau sendiri. Setelah itu, dokter menawarkan aku untuk minum obat dari ramuan tradisional seharga RMB1500. Aku langsung menolak. Mahal sekali. Tapi dokter itu terkesan memaksa untuk membeli. Maklum saja, di sana tempat bisnis obat.
Siangnya kami ke Window of The World, sebuah daerah yang berisi miniatur berbagai negara di dunia. Cuaca di sana panas sekali, jadi perjalanan agak kurang bisa dinikmati. Aku terkejut karena di sana ada Borobudur milik Indonesia. Ternyata orang China juga tahu Borobudur. Perjalanan di sana menggunakan kereta kecil. Tidak mungkin berjalan kaki, bisa mati lemas.


Window of the World


Piramida

Borobudur


Istana Rattanakosin, Thailand

Dari Window of the World, kami ke Splendid China, sebuah daerah yang menunjukkan kebudayaan China dan juga suku-suku minoritas di China. Banyak pertunjukan yang menarik di sini. Ada aksi teatrikal suku-suku minoritas, atraksi perang suku Mongol dengan menggunakan kuda (melihat atraksi ini harus mampu menahan bau kotoran kuda yang menyengat sekali), dan juga pertunjukan puncak pada malamnya yaitu aksi gabungan teatrikal, tari-tarian, dan juga akrobatik, ditambah lagi dengan sinar laser dan cahaya api yang cukup menawan.

Esoknya kami pulang ke Hong Kong untuk kemudian kembali ke Jakarta. Ternyata imigrasi di Shenzhen Bay pada hari itu cukup sibuk sehingga kami harus mengantri sekitar 30 menit. Total perjalanan dari Shenzhen ke Bandar Udara Hong Kong sekitar 1 jam 30 menit. Kami pun pulang ke Jakarta. Aku sudah rindu rumah. Sejauh-jauhnya kita berpergian, tetap rumah kita yang sehari-hari kita hunilah yang paling nyaman.
Maka selesailah kisah perjalanan di Delta Sungai Mutiara. Semoga di lain waktu aku bisa kembali lagi ke sana.