Sampeyan Dalem ingkang Sinuhun, Ke Bawah Duli Yang Maha Mulia Tuanku Paduka Sri Sultan Hamengkubuwono X, saat ini tengah dilanda kegusaran yang cukup pelik. Tuanku, seorang Sultan daripada Kesultanan Yogyakarta yang juga menjabat sebagai Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), saat ini dikhawatirkan kehilangan pangkatnya sebagai gubernur daerah itu. Bagaimana tidak, beberapa hari silam ada rumor berhembus bahwa Presiden SBY meminta agar di Yogyakarta diadakan pemilihan gubernur secara demokratis, dengan pengertian bahwa semua orang bisa jadi gubernur di Yogyakarta, bukan hanya Sultan atau Sri Paku Alam sebagai wakilnya saja. Dengan kata lain, meminta agar keistimewaan di Yogyakarta yang sudah melekat pada namanya, dihapus.
Sontak, pro-kontra bermunculan di mana-mana. Di dunia nyata ataupun di dunia maya. Sebagian setuju, sebagian tidak setuju. Kalau diminta argumen yang menguatkan kedua pandangan tersebut, amboi amboi, terlampau banyaklah argumen yang didapati. Ada yang melihat dari fakta sejarah, lalu dari fakta-fakta lain juga ada.
Dari Tuanku Sultan sendiri, Tuanku berkata bahwa ia sebenarnya sudah tidak ingin lagi mencalonkan diri sebagai gubernur DIY dan hanya ingin sampai 2x masa jabatan saja. Masa jabatan Tuanku sendiri sebagai gubernur (bukan sebagai Sultan) bermula dari tahun 1988, mendahului awal jabatannya sebagai Sultan Yogyakarta. Tuanku pula, dari berbagai sumber berita yang aku dapatkan, mempersilakan siapapun untuk menjadi gubernur DIY. Meminjam istilah dari bahasa Jawa, Tuanku Sultan sudah legowo, berbesar hati.
Masalah sebenarnya muncul daripada perkataan Presiden SBY yang berhubungan dengan RUU Keistimewaan DIY dan penetapan Tuanku Sultan sebagai gubernur. Presiden meminta agar Yogyakarta disamakan dengan wilayah lainnya, gubernur dipilih langsung sehingga demokratis. Lanjut beliau, sistem monarki yang ada di Yogyakarta berbenturan dengan demokrasi.
Terang saja ini menuai kecaman. Perkataan "monarki" itu, seakan-akan mengesankan bahwa "ada negara di dalam negara". Berarti, presiden memandang Yogyakarta sebagai "ancaman" bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia" karena statusnya sebagai daerah istimewa.
Lalu perkataan lain "bertentangan dengan demokrasi". Memangnya selama ini keberadaan DIY bertentangan dengan demokrasi??? Aku pikir tidak juga. Nah, di sinilah muncul ambigu. Demokrasi yang dipahami segelintir pihak disamakan dengan demokrasi ala Barat sana, yang mungkin saja tak sesuai dengan tata tertib yang berlaku di negara kita. Demokrasi di sini adalah demokrasi Pancasila, demokrasi terbatas dan terkoridor, bukan demokrasi yang "sedemokrasi-demokrasinya". Kalau selama ini keberadaan DIY tidak bertentangan dengan UU, ya sudah. Berarti sehaluan dengan demokrasi.
Sampai-sampai muncul tudingan bahwa Partai Demokrat, partai yang kini berkuasa, sudah haus kekuasaan sehingga ingin menguasai wilayah DIY. Memang, aku tak berani menuding seperti itu, tapi itu tudingan beberapa orang yang menulis di blog atau ikut berdiskusi denganku di berbagai forum. Tapi kalau tudingan itu ternyata benar, sungguh memalukan. Pejabat-pejabat kita makin lama makin mendewakan kekuasaan. Get lose you all...

Sikap warga Yogyakarta sendiri beragam. Ada yang setuju di Yogyakarta digelar pemilihan gubernur langsung, ada juga yang tidak. Ada yang minta Tuanku Sultan jadi gubernur sampai akhir hayat. Macam-macam.
Aku pribadi, walaupun bukan warga Yogyakarta dan tak ada kena-mengena dengan daerah itu, adalah seorang pengagum Tuanku. Banyak hal yang Tuanku lakukan selama menjadi Sultan dan menjadi Gubernur DIY. Ia adalah raja favoritku ke-dua di dunia. Nomor satu adalah Tuanku Paduka Raja Bhumibol Adulyadej dari Thailand.
Jadi, aku tak rela kalau kepemimpinan DIY pindah ke tangan lain, kecuali Tuanku Sultan mangkat. Berkaca dari hasil pemilihan langsung di berbagai daerah, tak ada hasil nyatanya. Pemilihan kepala daerah hanya jadi ajang berebut kekuasaan dan permainan uang. Masa kampanye, obral janji. Begitu terpilih, lupa janji. Hanya sedikit kepala daerah yang bekerja optimal bagi rakyatnya, sebagian besar hanya akan membuat kita geleng-geleng kepala. Imbas dari demokrasi yang salah.
Coba lihat Yogyakarta. Sebuah kota yang, wah, nilai positifnya sudah bergaung ke serata dunia. Kota yang nyaman, kota wisata, tenang, aman, tidak banyak ribut, angka korupsi rendah. Kalau gubernur berganti, aku tak yakin Yogyakarta akan tetap seperti sekarang.
Teman-temanku dari Yogyakarta pun hampir semuanya mendukung Tuanku Sultan untuk jadi gubernur seperti sekarang. Mereka juga mengatakan, orang luar Yogyakarta banyak menganggap orang Yogyakarta itu budak kampung, aneh, merepek, menyimpang, macam-macam lah. Tapi tolong orang luar Yogyakarta pahami dulu, mengapa orang tempatan tetap menyokong Tuanku Sultan, termasuk memahami juga situasi yang terjadi masa ini di Yogyakarta. Keistimewaan Yogyakarta memang begitu terasa. Aku yang bukan orang Yogyakarta pun dibuat terpana olehnya.

Ini hanya pandangan pribadiku. Aku mohon maaf kalau mungkin ini akan membuat beberapa pihak sakit hati. Silakan tulis komentar, tapi jangan debat di sini. Ada tempat lain untuk debat. Ini hanya sedikit pandangan dariku yang cukup buta akan politik dan perundang-undangan, tapi punya visi yang jauh ke depan untuk negara kita tercinta, Indonesia.